PHRI: Kewajiban Bonus Lima Kali Upah Sangat Memberatkan Perusahaan

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menegaskan pentingnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperhatikan aspirasi para pelaku industri saat menetapkan berbagai klausul Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja. Maulana menyoroti Pasal 92 Bab IV Rancangan Undang undang Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam beleid itu mengatur kewajiban perusahaan memberikan bonus hingga 5 kali upah bagi mereka yang telah bekerja 12 tahun.

“Bonus pekerja yang dinilai sebagai pemanis ini arahnya ke mana? Dalam kondisi sekarang bisnis susah bersaing dan tumbuh di Indonesia karena adanya aturan upah minimum dan sebagainya,” kata Maulana saat dikonfirmasi, Rabu (10/6/2020). PHRI menilai kewajiban ini akan memberikan beban operasional perusahaan yang sangat besar. DPR dan Pemerintah memang sepakat menunda pembahasan klaster ini. PHRI menyarankan pemerintah dan DPR melakukan berbagai penyesuaian.

Di industri perhotelan, misalnya, komponen upah pekerja bisa mencapai 25 persen dari total beban perusahaan. “Kewajiban bonus hingga 5 kali upah akan sangat membebani perusahaan, khususnya di sektor pariwisata. Demikian pula dengan sektor sektor lain yang bersifat padat karya dengan beban operasional pekerja yang tinggi,” tuturnya. Dia menjelaskan, pada industri pariwisata upah atau gaji bukan tolok ukur utama dalam penghargaan terhadap pekerja.

Sebab, mereka memiliki parameter lain seperti insentif pelayanan atau service. “Hotel yang masih beroperasi itu upahnya hanya upah gaji saja, sementara service nya bisa dua kali lipat dari gajinya. Di situ kelihatan kalau sektor ini tidak mengutamakan gaji, karena uang service itu tolak ukurnya dari pelayanan. Artinya okupansi tinggi uang service nya juga tinggi,” katanya lagi. Pada beberapa pelaku usaha, bonus berbasis kinerja ini juga dilakukan guna menjaga performa perlayanan. PHRI pun meminta pemerintah dan DPR tidak hanya mengambil kebijakan populis, namun lebih mengarahkannya kepada penciptaan daya saing dan investasi.

Peningkatan upah/kompensasi yang tinggi dan berlebihan dinilai akan sia sia karena dapat berpengaruh langsung pada investasi. Sebab, penciptaan lapangan kerja tetap tidak akan terjadi. Menurut Maulana, jika pemberi kerja masih dibebani dengan kewajiban bonus pekerja, potensi perusahaan merekrut tenaga kerja baru akan berkurang. Biaya ketenagakerjaan pun menjadi tidak kompetitif. Akibatnya, hal ini akan mengurangi minat pemodal untuk berinvestasi di Indonesia. “Kalau begini daya saing jadi berkurang, dan perusahaan banyak yang tutup. Jadi pemutusan hubungan kerja bisa jadi lebih besar,” katanya. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa penundaan pembahasan RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dilakukan untuk merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal. Hal ini kemudian direspons positif sejumlah pihak apalagi saat ini Indonesia masih menghadapi krisis akibat penyebaran Covid 19.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *